Monday, September 03, 2007

Siapakah emaknya?

Siapakah Emaknya?

http://genenetto.blogspot.com/2007/08/siapakah-emaknya.html

Selesai berlibur dari kampung, saya harus kembali kekota. Mengingat
jalan tol yang juga padat, saya menyusuri jalan lama. Terasa
mengantuk, saya singgah sebentar di sebuah restoran. Begitu memesan
makanan, seorang anak lelaki berusia lebih kurang 12 tahun muncul di
depan.

"Abang mau beli kue?" Katanya sambil tersenyum. Tangannya segera
menyelak daun pisang yang menjadi penutup bakul kue jajanannya. "Tidak
Dik, Abang sudah pesan makanan," jawab saya ringkas. dia berlalu.

Begitu pesanan tiba, saya langsung menikmatinya. Lebih kurang 20
menit kemudian saya melihat anak tadi menghampiri pelanggan lain,
sepasang suami istri sepertinya. Mereka juga menolak, dia berlalu
begitu saja.

"Abang sudah makan, tak mau beli kue saya?" tanyanya tenang ketika
menghampiri meja saya.
"Abang baru selesai makan Dik, masih kenyang nih," kata saya sambil
menepuk-nepuk perut. Dia pergi, tapi cuma di sekitar restoran. Sampai
di situ dia meletakkan bakulnya yang masih penuh. Setiap yang lalu dia
tanya, "Tak mau beli kue saya Bang, Pak... Kakak atau Ibu." Molek budi
bahasanya.

Pemilik restoran itupun tak melarang dia keluar masuk restorannya
menemui pelanggan. Sambil memperhatikan, terbersit rasa kagum dan
kasihan di hati saya melihat betapa gigihnya dia berusaha. Tidak
nampak keluh kesah atau tanda-tanda putus asa dalam dirinya, sekalipun
orang yang ditemuinya enggan membeli kuenya.

Setelah membayar harga makanan dan minuman, saya terus pergi ke
mobil. Anak itu saya lihat berada agak jauh di deretan kedai yang
sama. Saya buka pintu, membetulkan duduk dan menutup pintu. Belum
sempat saya menghidupkan mesin, anak tadi berdiri di tepi mobil. Dia
menghadiahkan sebuah senyuman. Saya turunkan kaca jendela. Membalas
senyumannya.

"Abang sudah kenyang, tapi mungkin Abang perlukan kue saya untuk
adik- adik, Ibu atau Ayah abang," katanya sopan sekali sambil
tersenyum.

Sekali lagi dia memamerkan kue dalam bakul dengan menyelak daun
pisang penutupnya.
Saya tatap wajahnya, bersih dan bersahaja. Terpantul perasaan
kasihan di hati. Lantas saya buka dompet, dan mengulurkan selembar
uang Rp 20.000,- padanya. "Ambil ini Dik! Abang sedekah... Tak usah
Abang beli kue itu." Saya berkata ikhlas karena perasaan kasihan
meningkat mendadak. Anak itu menerima uang tersebut, lantas
mengucapkan terima kasih terus berjalan kembali ke kaki lima deretan
kedai. Saya gembira dapat membantunya.

Setelah mesin mobil saya hidupkan. Saya memundurkan. Alangkah
terperanjatnya saya melihat anak itu mengulurkan Rp 20.000,- pemberian
saya itu kepada seorang pengemis yang buta kedua-dua matanya. Saya
terkejut, saya hentikan mobil, memanggil anak itu.

"Kenapa Bang, mau beli kue kah?" tanyanya.
"Kenapa Adik berikan duit Abang tadi pada pengemis itu? Duit itu
Abang berikan ke Adik!" kata saya tanpa menjawab pertanyaannya.

"Bang, saya tak bisa ambil duit itu. Emak marah kalau dia tahu saya
mengemis. Kata emak kita mesti bekerja mencari nafkah karena Allah.
Kalau dia tahu saya bawa duit sebanyak itu pulang, sedangkan jualan
masih banyak, Mak pasti marah. Kata Mak mengemis kerja orang yang tak
berupaya, saya masih kuat Bang!" katanya begitu lancar. Saya heran
sekaligus kagum dengan pegangan hidup anak itu. Tanpa banyak soal saya
terus bertanya berapa harga semua kue dalam bakul itu.

"Abang mau beli semua kah?" dia bertanya dan saya cuma mengangguk.
Lidah saya kelu mau berkata. "Rp 25.000,- saja Bang...." Selepas dia
memasukkan satu persatu kuenya ke dalam plastik, saya ulurkan Rp
25.000,-. Dia mengucapkan terima kasih dan terus pergi. Saya
perhatikan dia hingga hilang dari pandangan.

Dalam perjalanan, baru saya terpikir untuk bertanya statusnya. Anak
yatim kah? Siapakah wanita berhati mulia yang melahirkan dan
mendidiknya? Terus terang saya katakan, saya beli kuenya bukan lagi
atas dasar kasihan, tetapi rasa kagum dengan sikapnya yang dapat
menjadikan kerjanya suatu penghormatan. Sesungguhnya saya kagum dengan
sikap anak itu. Dia menyadarkan saya, siapa kita sebenarnya.


Sumber: Suara Merdeka


Posted by Gene Netto at 8/30/2007 09:45:00 PM

forwaded from feui95 mailing list & posted by Ilham D. Sannang

Wednesday, August 29, 2007

Memberi

BELAJARLAH MEMBERI

Vitachan - Shizuoka

Kemarin sore tiba-tiba saya diberi kejutan kecil. Orang tua asuh saya

membawa beras satu bungkus isi 10 kg dan memberikannya pada saya, tepat

ketika saya hendak membeli beras karena persediaan di rumah saya habis.

Hehe.. rejeki nomplok, pikir saya.

Karena sangat senang, saya kirim sms pada kakak perempuan di Indonesia dan

menceritakan kejadian ini. "Kok PAS, ya., pas butuh pas ada." Tulis saya

pada kakak saya. Kakak saya lalu bercerita, tadi pagi ibu saya memanggil

tukang becak tua yg lewat didepan rumah kami, dan memberinya makan satu

piring nasi.

Kakak saya heran, dalam rangka apa ibu saya tiba-tiba memberi makan tukang

becak itu. Kata ibu saya, "Biar anak mami yg jauh ga kekurangan makan."

Kakak saya bilang, mungkin maksud ibu itu adalah saya yg tinggal jauh di

negeri orang. Kontan, sorenya saya dapet beras 10kg. Waduh.balasannya kok

ga sebanding yah, sepiring nasi dengan sekarung beras. Hehe..lumayan.

Kejadian ini mengingatkan saya pada kejadian 20 tahun lalu. Suatu hari di

permulaan musim kemarau ketika saya masih duduk di kelas 3 atau 4 Sekolah

Dasar di Bandung, ada penggalian tanah di sepanjang jalan depan rumah orang

tua saya untuk pemasangan kabel telpon. Semua tukang gali jumlahnya

kira-kira 20 orang. Pekerjaan memakan waktu kurang lebih 10 hari. Pekerjaan

ini menarik perhatian saya, terutama kabel-kabel ukuran besar yg nantinya

akan ditanam dalam galian itu.

Hari pertama penggalian dimulai, matahari bersinar sangat terik. Para

pekerja yg kelelahan berhenti sejenak dari pekerjaannya sambil beberapa

kali mengusap keringat diwajahnya. Mereka terlihat kehausan karena bekal

air yg mereka bawa telah habis. Ibu saya yang melihat ini tanpa banyak

bicara membawa teko air besar dan menawarkan minuman teh dingin pada

mereka. Spontan mereka menerima dan meminum teh buatan ibu saya dgn

gembiranya. Karena mereka jumlahnya banyak, ibu saya sampai 3 kali mengisi

teko itu.

Ternyata hari-hari berikutnya pun ibu saya tidak berhenti menyediakan teko

air di depan rumah untuk para tukang gali itu. Bahkan bisa sampai 5 kali

dalam sehari ibu bolak balik mengisi teko besar itu dengan air teh. Jika

ada makanan ringan seperti pisang rebus, atau kue-kue kecil lainnya, ibu

saya jg menyuguhkannya. Saya pernah bertanya, "Kenapa ibu saja yg memberi

air minum pada mereka? Tetangga-tetangga lainnya pun tidak". Ibu saya hanya

menjawab singkat, "Kasihan", katanya. Sampai ketika pekerjaan galian itu

selesai, salah seorang tukang gali berkata "Terimakasih Bu, mulai hari ini

tidak usah sediakan air lagi, kami akan pindah ke tempat lain," katanya

sambil pamit pada ibu saya.

Hari-hari berlalu sampai tiba pada pertengahan musim kemarau. Musim kemarau

pada tahun itu katanya adalah musim kemarau panjang dan sangat panas

dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tidak seperti air di sumur-sumur tetangga

di komplek rumah kami yang mengering, air sumur kami justru melimpah ruah.

Ini ajaib. Padahal tetangga kiri kanan rumah ibu saya memasang jet pump yg

besar, sedangkan kami hanya memakai pompa Sanyo berkekuatan kecil.

Logikanya air tanah di rumah kami akan tersedot oleh tetangga kami itu.

Tapi kenyataannya adalah ibu saya membagi-bagikan air pada tetangga sebelah

menggunakan selang panjang melewati tembok penghalang rumah.

Semua tetangga di kompleks kami membeli air dengan jirigen-jirigen besar

untuk keperluan mandi dan mencuci setiap harinya. Hanya keluarga kami yang

tidak kekurangan air sedikitpun melewati musim kering yg panjang dan panas

pada saat itu. Ketika saya bertanya pada ibu, "Kenapa air sumur di rumah

kita tidak kering?", ibu saya menggelengkan kepala, sambil berkata lirih,

"Apa mungkin ini imbalan dari Tuhan karena memberi minum tukang-tukang gali

yg kehausan itu kemarin dulu?" Tidak ada seorang pun diantara kami yg tahu.

Sama seperti seorang guru, semakin banyak mengajar, semakin pintarlah ia.

Maka praktek memberi yg diajarkan ibu saya juga berlawanan dengan rumus

matematika yg diajarkan disekolah. Satu dikurang satu di mana-mana ya sama

dengan NOL. Tapi ibu saya ajaib, satu dikurang satu bisa jadi dua, bisa

juga tiga, atau bahkan sepuluh. Weleh, weleh...


Wednesday, August 22, 2007

Rp 1.500, - = Rp 600.000, - (matematika Allah)

Oleh Bayu Gawtama
Tidak ada satu maksud apa pun ketika menuliskan cerita ini, semoga Allah menjaga hati ini dari sifat riya meski sebiji zarah pun.
_____________________________
Jum’at lalu, saya berangkat ke kantor dengan dada sedikit berdegub. Melirik ukuran bensin di dashboard motor, masih setengah. “Yah cukuplah untuk pergi pulang ke kantor”.
Namun, bukan itu yang membuat dada ini tak henti berdegub. Uang di kantong saya hanya tersisa seribu rupiah saja. Degubnya tambah kencang karena saya hanya menyisakan uang tidak lebih dari empat ribu rupiah saja di rumah. Saya bertanya dalam hati, “makan apa keluarga saya siang nanti?” Meski kemudian buru-buru saya hapus pertanyaan itu, mengingat nama besar Allah yang Maha Melindungi semua makhluk-Nya yang tawakal.
Saya berangkat, terlebih dulu mengantar si sulung ke sekolahnya. Saya bilang kepadanya bahwa hari ini tidak usah jajan terlebih dulu. Alhamdulillah ia mengerti. Soal pulangnya, ia biasa dijemput tukang ojeg yang –sukurnya- sudah dibayar di muka untuk antar jemput ke sekolah.
Sepanjang jalan menuju kantor saya terus berpikir, dari mana saya bisa mendapatkan uang untuk menjamin malam nanti ada yang bisa dimakan oleh isteri dan dua putri saya. Urusan besok tinggal bagaimana besok saja, yang penting sore ini bisa mendapatkan sesuatu untuk bisa dimakan.
Tiba di kantor, tiba-tiba saya mendapatkan sebungkus mie goreng dari seorang rekan kantor yang sedang milad (berulang tahun). Perut saya yang sejak pagi belum terisi pun mendesak-desak untuk segera diisi. Namun saya ingat bahwa saya tidak memiliki uang selain yang seribu rupiah itu untuk makan siang. Jadi, saya tangguhkan dulu mie goreng itu untuk makan siang saja.
Sepanjang hari kerja, terhitung dua kali saya menelepon isteri di rumah menanyakan kabar anak-anak. “sudah makan belum?” si cantik di seberang telepon hanya menjawab, “Insya Allah, ” namun suaranya terasa getir. Saat itu, anak-anak sedang tidur siang.
Pukul lima sore lebih dua puluh menit saya bergegas ke rumah. Sebelumnya saya sudah berniat untuk menginfakkan seribu rupiah di kantong saya jika melewati petugas amal masjid yang biasa ditemui di jalan raya. Sayangnya, sepanjang jalan saya tidak menemukan petugas-petugas itu, mungkin karena sudah terlalu sore. Akhirnya, sekitar separuh perjalanan ke rumah, adzan maghrib berkumandang. Motor pun terparkir di halaman masjid, dan seketika mata ini tertuju kepada kotak amal di pojok masjid. “bismillaah…” saya masukkan dua koin lima ratus rupiah ke kotak tersebut.
Usai sholat, setelah berdoa saya meneruskan perjalanan. Tapi sebelumnya, tangan saya menyentuh sesuatu di kantong celana. Rupanya satu koin lima ratus rupiah. Kemudian saya ceploskan lagi ke kotak amal yang sama.
Sesampainya di rumah, isteri sedang memasak mie instan. Semangkuk mie instan sudah tersaji, “kita makan sama-sama yuk…” ajak si manis. Kemudian saya bilang, “abang sudah kenyang, biar anak-anak saja yang makan”. Anak-anak pun lahap menyantap mie instan plus nasi yang dihidangkan ibu mereka. Rasanya ingin menangis saat itu.
***
Keesokan paginya, isteri menggoreng singkong untuk sarapan. Alhamdulillah masih ada yang bisa dimakan. Sebenarnya hari itu masih punya harapan. Seorang teman isteri beberapa hari lalu meminjam sejumlah uang dan berjanji mengembalikannya Sabtu pagi. Namun yang ditunggu tidak muncul. Bahkan ketika terpaksa saya harus mengantar isteri menemui temannya itu, pun tidak membuahkan hasil.
Tiba-tiba telepon saya berdering, “Pak, saya baru saja mentransfer uang satu juta rupiah ke rekening bapak. Yang empat ratus ribu untuk pesanan 20 buku bapak yang terbaru. Sisanya rezeki untuk anak-anak bapak ya…” seorang sahabat dekat memesan buku karya saya yang terbaru.
Subhanallah, Allahu Akbar! Saya langsung bersujud seketika itu. Saya hanya berinfak seribu lima ratus rupiah dan Allah membalasnya dengan jumlah yang tidak sedikit. Ini matematika Allah, siapa yang tak percaya janji Allah? Yang terpenting, siang itu juga saya buru-buru mengeluarkan sejumlah uang dari yang saya peroleh hari itu untuk diinfakkan.
***
Saya bersyukur tidak memiliki banyak uang maupun tabungan untuk saya genggam. Sebab semakin banyak yang saya miliki tentu semakin berat pertanggungjawaban saya kepada Allah.
Bayugautama@yahoo.com

Tokh saya tidak lebih baik dari anjing

Tokh Saya Tidak Lebih Baik Daripada Anjing*
 
Ini cerita seorang tua bijaksana. Kebijaksanaannya begitu masyhur di kalangan penduduk, sehingga menjadi buah bibir. Mendengar kemasyhuran orang ini, timbul niat seorang jahil untuk menguji Pak Tua ini.
 
Si Jahil memanggil Pak Tua, "Pak Tua, kemarilah!"
Datanglah Pak Tua memenuhi undangan Si Jahil, dengan tertatih-tatih berjalan, bertumpu pada tongkatnya. Tatkala Pak Tua sudah sampai di hadapan Si Jahil, Si Jahil malah bertanya pura-pura,
 
"Ada apa ya Pak?"
"Lho, bukankah ananda memanggilku?"
"Aah, nggak tuch. Mungkin Pak Tua salah dengar ya?"
"Oh ya? Baik kalau begitu, maaf", lalu Pak Tua itu pun berlalu.
 
Si Jahil senang sudah berhasil mengerjai Pak Tua.
Namun, ia belum puas. Tak lama kemudian, Si Jahil kembali memanggil Pak Tua,
 
"Pak Tua, kemarilah!"
 
Lalu, Pak Tua kembali memenuhi panggilan Si Jahil, dengan tertatih-tatih berjalan, bertumpu pada tongkatnya. Tatkala Pak Tua sudah sampai di hadapan Si Jahil, Si Jahil kembali lagi bertanya pura-pura,
 
"Ada apa ya Pak?"
 
Lalu dialog kembali berulang. Si Jahil kembali mengelak bahwa ia telah memanggil Pak Tua, dan Pak Tua pun pamit minta maaf dan berlalu. Kejadian ini terus berulang. Berulang...berulang....berulang....sampai Si Jahil merasa sangat bersalah mempermainkan seorang yang sudah tua. Rasa bersalahnya bertambah-tambah karena bukannya marah, justru Pak Tua tetap berwajah ceria.
 
Bukankah kepuasan tertinggi orang jail terletak pada keberhasilannya ngerjain orang? Lha, Pak Tua ini, walaupun sudah berkali-kali dikerjai, tidak mempan juga, malah ia tetap berwajah ceria. Kesallah si Jahil karena kejahilannya terlalu impoten untuk mendobrak amarah Pak Tua. Akhirnya, justru Si Jahil yang kalah sabar mengerjai Pak Tua, ditambah rasa bersalahnya kian memuncak dalam hati.
 
Si Jahil akhirnya menghadap Pak Tua, mohon maaf atas kesalahannya mengerjai, dan menyatakan kekagumannya atas kesabaran Pak Tua. Maka, Pak Tua pun menjawab,
 
"Ananda, jika engkau menyebut tindakanku itu sebagai kesabaran, maka anjing pun melakukannya. Tengoklah anjing, jika tuannya memanggil, anjing selalu datang walau tak jelas tujuan si Tuan memanggil itu apa. Maka, tindakanku memenuhi panggilanmu itu tak lebih hebat daripada anjing. Lalu mengapa pula engkau memuji kesabaranku?"
 
Mendengar ini, Si Jahil bertambah kagum pada Pak Tua. Akhirnya ia mengaku, bahwa sebenarnya ia hanya ingin menguji. Setelah mohon maaf, Si Jahil pun mohon izin agar dapat diterima berguru pada Pak Tua.
 
_________________________
Kita sering terlalu bangga dengan status kemuliaan kita sebagai manusia, sehingga tega merendahkan binatang. Terhadap manusia yang kita benci, kita memaki, "Dasar anjing luh!!!" Bukankah ini penghinaan terhadap anjing? Padahal, anjing pun lebih baik daripada sebagian manusia. Anjing selalu setia, bersyukur, dan tunduk pada pemeliharanya. Padahal banyak manusia yang tidak setia, bersyukur, dan tunduk pada Pemeliharanya.
 
*(Kisah ini diparafrasekan dari salah satu kisah yang diceritakan Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya 'Ulumuddin ['Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama']. Pak Tua adalah seorang ulama sufi, yang sayang sekali saya lupa namanya. Kalau berminat, silakan pembaca memeriksa sendiri dalam kitab tersebut, yang sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan beragam versi oleh banyak penerbit).  
 
 


Diteruskan dari postingan Ilham D. Sannang dalam milis FEUI95

Wednesday, August 01, 2007

Jejak Sepatu Di karpet

Sebuah kisah nyata...
Ada seorang ibu rumah tangga yang memiliki 4 anak laki-laki.
Urusan belanja, cucian, makan, kebersihan & kerapihan rumah dapat
ditanganinya dengan baik. Rumah tampak selalu rapih, bersih & teratur dan
suami serta anak-anaknya sangat menghargai pengabdiannya itu.

Cuma ada satu masalah, ibu yg pembersih ini sangat tidak suka kalau karpet
di rumahnya kotor.
Ia bisa meledak dan marah berkepanjangan hanya gara-gara melihat jejak
sepatu di atas karpet, dan suasana tidak enak akan berlangsung seharian.
Padahal, dengan 4 anak laki-laki di rumah, hal ini mudah sekali terjadi
terjadi dan menyiksanya.

Atas saran keluarganya, ia pergi menemui seorang psikolog bernama Virginia
Satir, dan menceritakan masalahnya.
Setelah mendengarkan cerita sang ibu dengan penuh perhatian, Virginia
Satir tersenyum & berkata kepada sang ibu :
"Ibu harap tutup mata ibu dan bayangkan apa yang akan saya katakan" Ibu
itu kemudian menutup matanya.
"Bayangkan rumah ibu yang rapih dan karpet ibu yang bersih mengembang, tak
ternoda, tanpa kotoran, tanpa jejak sepatu, bagaimana perasaan ibu?"
Sambil tetap menutup mata, senyum ibu itu merekah, mukanya yg murung
berubah cerah. Ia tampak senang dengan bayangan yang dilihatnya.

Virginia Satir melanjutkan; "Itu artinya tidak ada seorangpun di rumah
ibu.Tak ada suami, tak ada anak-anak, tak terdengar gurau canda dan tawa
ceria mereka. Rumah ibu sepi dan kosong tanpa orang-orang yang ibu
kasihi".

Seketika muka ibu itu berubah keruh, senyumnya langsung menghilang,
napasnya mengandung isak.
Perasaannya terguncang. Pikirannya langsung cemas membayangkan apa yang
tengah terjadi pada suami dan anak-anaknya.

"Sekarang lihat kembali karpet itu, ibu melihat jejak sepatu & kotoran
disana, artinya suami dan anak-anak ibu ada di rumah, orang-orang yang ibu
cintai ada bersama ibu dan kehadiran mereka menghangatkan hati ibu".
Ibu itu mulai tersenyum kembali, ia merasa nyaman dengan visualisasi tsb.

"Sekarang bukalah mata ibu" Ibu itu membuka matanya "Bagaimana, apakah
karpet kotor masih menjadi masalah buat ibu?"

Ibu itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Aku tahu maksud anda" ujar sang ibu, "Jika kita melihat dengan sudut yang
tepat, maka hal yang tampak negatif dapat dilihat secara positif".

Sejak saat itu, sang ibu tak pernah lagi mengeluh soal karpetnya yang
kotor, karena setiap melihat jejak sepatu disana, ia tahu, keluarga yg
dikasihinya ada di rumah.

Kisah di atas adalah kisah nyata. Virginia Satir adalah seorang psikolog
terkenal yang mengilhami Richard Binder & John Adler untuk menciptakan NLP
(Neurolinguistic Programming) . Teknik yang dipakainya di atas disebut
Reframing, yaitu bagaimana kita 'membingkai ulang' sudut pandang kita,
sehingga sesuatu yg tadinya negatif dapat menjadi positif, salah satu
caranya dengan mengubah sudut pandangnya.

Terlampir beberapa contoh pengubahan sudut pandang : Saya BERSYUKUR;
1.Untuk istri yang mengatakan malam ini kita hanya makan mie instan,
karena itu artinya ia bersamaku bukan dengan orang lain.
2.Untuk suami yang hanya duduk malas di sofa menonton TV, karena itu
artinya ia berada di rumah dan bukan di bar, kafe, atau di tempat mesum.
3.Untuk anak-anak yang ribut mengeluh tentang banyak hal, karena itu
artinya mereka di rumah dan tidak jadi anak jalanan.
4.Untuk Tagihan Pajak yang cukup besar, karena itu artinya saya bekerja
dan digaji tinggi.
5.Untuk sampah dan kotoran bekas pesta yang harus saya bersihkan, karena
itu artinya keluarga kami dikelilingi banyak teman.
6.Untuk pakaian yang mulai kesempitan, karena itu artinya saya cukup makan.
7.Untuk rasa lelah, capai dan penat di penghujung hari, karena itu artinya
saya masih mampu bekerja keras.
8.Untuk semua kritik yang saya dengar tentang pemerintah, karena itu
artinya masih ada kebebasan berpendapat.
9.Untuk bunyi alarm keras jam 5 pagi yg membangunkan saya, karena itu
artinya saya masih bisa terbangun, masih hidup.
10.Untuk setiap permasalahan hidup yang saya hadapi, karena itu artinya
Tuhan sedang membentuk dan menempa saya untuk menjadi lebih baik lagi.

(diteruskan dari email fadya)

Wednesday, July 18, 2007

Belajar Bijak Dari Nelayan



                     

                Kiriman humor ini dari seorang teman di atas mengajarkan kita beberapa hal .

             Pertama,

                Kita tidak boleh sombong. Firman Tuhan mengatakan bahwa orang yang tinggi hati akan

                direndahkan. Sebaliknya, orang yang rendah hati akan di tinggikan pada waktunya.

            Kedua,

               Setinggi apa pun pendidikan kita, kita tidak mungkin menguasai semua ilmu,

               apalagi ketrampilan.

            Ketiga,

               Kita membutuhkan orang lain, tidak peduli seberapa rendah pendidikan orang itu.

               

               (diteruskan dari email Fadli maizar)

         


 




__._,_.___


Logika Pria


Logika Pria,

Seorang Suami dan Istrinya tengah menghadiri sidang
perceraiannya.

Dalam sidang akan memutuskan siapa yang mendapat hak asuh
anak.

Sambil berteriak histeris dan melompat - lompat si istri
berkata :

" Yang Mulia, Saya yang mengandung, melahirkan bayi itu ke
dunia dengan kesakitan dan kesabaran saya !! " " Anak itu
harus menjadi hak asuh Saya !! "

Hakim lalu berkata kepada pihak suami:

" Apa pembelaan anda terhadap tuntutan istri Anda"

Si Suami diam sebentar, dengan nada datar ia berkata :

" Yang mulia .   Jika saya memasukkan KOIN ke mesin minuman
Coca-Cola,

   mesinnya BERGOYANG SEBENTAR, dan minumannya keluar,

   Menurut Pak Hakim .......  Minumannya milik Saya atau
Mesinnya ?  "


 (diteruskan dari email Fadli Maizar)

Tuesday, July 17, 2007

Tidak Mau Ambil Resiko

Seorang yang sudah sekarat dan mendekati ajalnya, ditanyai oleh seorang perawat, "Apakah anda mau ditemani oleh pendeta, pastur, atau kiai?"

Orang yang sekarat itu lalu menjawab dengan terbata-bata, "Suster, semuanya saja. Saya tidak mau ambil resiko."

Perawat: ??????

(diteruskan dari milis feui95 posted by Danny Lau)


 

Monday, July 16, 2007

Duet Jokes


BABA

 

Seorang salesman sedang mempromosikan produk perusahaannya kepada seorang anak kos. Dia menanyakan pertanyaan tentang produk yang dipakai anak kos itu.

 

"Sabun mana yang Anda gunakan selama ini?"

Anak kos dengan santai menjawab, "Sabun Baba."

 

"Kalau odol, odol mana yang Anda gunakan?"

"Odol Baba," jawab anak kos.

 

"Parfum?"

"Parfum Baba."

 

"Sampo?"

"Sampo Baba."

 

Akhirnya dengan frustrasi si salesman bertanya lagi, "Ok, apakah Baba ini perusahaan lokal atau multinasional karena saya belum pernah dengar? Siapa tahu Anda selama ini memakai produk yang tidak sehat."

 

Anak kos itu menjawab, "Bukan perusahaan kok, Mas. Baba itu teman kos saya."

 

---------------------------------------------------------------------

 

WORTEL BAGUS UNTUK MATA

 

Seorang guru SD sedang mengajar kepada murid-muridnya tentang manfaat wortel bagi kesehatan mata.

Kemudian guru tersebut bertanya kepada anak didiknya.

 

Guru : Anak-anak, siapa yang suka makan wortel?

Murid: (Hampir bersamaan kecuali Arya) Saya, Pak, saya, saya, saya ....

Guru : Arya, mengapa kamu diam saja? Kamu tidak suka makan wortel?

Arya : Bukan, Pak. Saya suka wortel, tetapi tolong tunjukkan dulu kalau wortel memang bermanfaat bagi mata kita.

Guru : Oh begitu. Baik. Kamu tahu kelinci makannya apa, Arya?!

Arya : Wortel, Pak.

Guru : Nah, kamu pernah melihat ada kelinci pakai kacamata?

Arya : ???????????????? Nggak, Pak??????

Guru : Sudah jelas kan sekarang?

 

__,_._,___

Budak Melayu

(Saya sangat suka dengan puisi2 yang dituliskan oleh sodara heri latief ini)

Budak Melayu
 
milyaran dollar hasil keringat buruh indonesia
dijadikan parfum prestasi penguasa
jika ada buruh jatuh tertimpa tangga
siapa bertanggung jawab mengurusnya?
 
riwayat cari makan di negeri jiran
nyatanya "orang indon" jadi paria
sihirnya materi bisa bikin mimpi ngeri
riwayat serumpun tinggal kenangan
 
milyaran dollar hasil perbudakan
kamu tau artinya jadi buruh murah
pemodal taunya cuma untung segunung
tak ada lagi secuil rasa kemanusiaan
 
milyaran keringat bercampur merahnya darah
itulah yang terjadi pada saat ini
kita memang masih jadi bangsa kuli
 
heri latief
amsterdam, 16 juli 2007



sastra-pembebasan@yahoogroups.com
milisgrup opini alternatif

http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/
penerbit buku sejarah alternatif

http://progind.net/
kolektif info coup d'etat 65: kebenaran untuk keadilan