Wednesday, August 29, 2007

Memberi

BELAJARLAH MEMBERI

Vitachan - Shizuoka

Kemarin sore tiba-tiba saya diberi kejutan kecil. Orang tua asuh saya

membawa beras satu bungkus isi 10 kg dan memberikannya pada saya, tepat

ketika saya hendak membeli beras karena persediaan di rumah saya habis.

Hehe.. rejeki nomplok, pikir saya.

Karena sangat senang, saya kirim sms pada kakak perempuan di Indonesia dan

menceritakan kejadian ini. "Kok PAS, ya., pas butuh pas ada." Tulis saya

pada kakak saya. Kakak saya lalu bercerita, tadi pagi ibu saya memanggil

tukang becak tua yg lewat didepan rumah kami, dan memberinya makan satu

piring nasi.

Kakak saya heran, dalam rangka apa ibu saya tiba-tiba memberi makan tukang

becak itu. Kata ibu saya, "Biar anak mami yg jauh ga kekurangan makan."

Kakak saya bilang, mungkin maksud ibu itu adalah saya yg tinggal jauh di

negeri orang. Kontan, sorenya saya dapet beras 10kg. Waduh.balasannya kok

ga sebanding yah, sepiring nasi dengan sekarung beras. Hehe..lumayan.

Kejadian ini mengingatkan saya pada kejadian 20 tahun lalu. Suatu hari di

permulaan musim kemarau ketika saya masih duduk di kelas 3 atau 4 Sekolah

Dasar di Bandung, ada penggalian tanah di sepanjang jalan depan rumah orang

tua saya untuk pemasangan kabel telpon. Semua tukang gali jumlahnya

kira-kira 20 orang. Pekerjaan memakan waktu kurang lebih 10 hari. Pekerjaan

ini menarik perhatian saya, terutama kabel-kabel ukuran besar yg nantinya

akan ditanam dalam galian itu.

Hari pertama penggalian dimulai, matahari bersinar sangat terik. Para

pekerja yg kelelahan berhenti sejenak dari pekerjaannya sambil beberapa

kali mengusap keringat diwajahnya. Mereka terlihat kehausan karena bekal

air yg mereka bawa telah habis. Ibu saya yang melihat ini tanpa banyak

bicara membawa teko air besar dan menawarkan minuman teh dingin pada

mereka. Spontan mereka menerima dan meminum teh buatan ibu saya dgn

gembiranya. Karena mereka jumlahnya banyak, ibu saya sampai 3 kali mengisi

teko itu.

Ternyata hari-hari berikutnya pun ibu saya tidak berhenti menyediakan teko

air di depan rumah untuk para tukang gali itu. Bahkan bisa sampai 5 kali

dalam sehari ibu bolak balik mengisi teko besar itu dengan air teh. Jika

ada makanan ringan seperti pisang rebus, atau kue-kue kecil lainnya, ibu

saya jg menyuguhkannya. Saya pernah bertanya, "Kenapa ibu saja yg memberi

air minum pada mereka? Tetangga-tetangga lainnya pun tidak". Ibu saya hanya

menjawab singkat, "Kasihan", katanya. Sampai ketika pekerjaan galian itu

selesai, salah seorang tukang gali berkata "Terimakasih Bu, mulai hari ini

tidak usah sediakan air lagi, kami akan pindah ke tempat lain," katanya

sambil pamit pada ibu saya.

Hari-hari berlalu sampai tiba pada pertengahan musim kemarau. Musim kemarau

pada tahun itu katanya adalah musim kemarau panjang dan sangat panas

dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tidak seperti air di sumur-sumur tetangga

di komplek rumah kami yang mengering, air sumur kami justru melimpah ruah.

Ini ajaib. Padahal tetangga kiri kanan rumah ibu saya memasang jet pump yg

besar, sedangkan kami hanya memakai pompa Sanyo berkekuatan kecil.

Logikanya air tanah di rumah kami akan tersedot oleh tetangga kami itu.

Tapi kenyataannya adalah ibu saya membagi-bagikan air pada tetangga sebelah

menggunakan selang panjang melewati tembok penghalang rumah.

Semua tetangga di kompleks kami membeli air dengan jirigen-jirigen besar

untuk keperluan mandi dan mencuci setiap harinya. Hanya keluarga kami yang

tidak kekurangan air sedikitpun melewati musim kering yg panjang dan panas

pada saat itu. Ketika saya bertanya pada ibu, "Kenapa air sumur di rumah

kita tidak kering?", ibu saya menggelengkan kepala, sambil berkata lirih,

"Apa mungkin ini imbalan dari Tuhan karena memberi minum tukang-tukang gali

yg kehausan itu kemarin dulu?" Tidak ada seorang pun diantara kami yg tahu.

Sama seperti seorang guru, semakin banyak mengajar, semakin pintarlah ia.

Maka praktek memberi yg diajarkan ibu saya juga berlawanan dengan rumus

matematika yg diajarkan disekolah. Satu dikurang satu di mana-mana ya sama

dengan NOL. Tapi ibu saya ajaib, satu dikurang satu bisa jadi dua, bisa

juga tiga, atau bahkan sepuluh. Weleh, weleh...


No comments: